Kamu duduk di dalam kelasmu, mendengarkan dosenmu mengajar, di belakangmu juga ada temanmu yang cukup dekat. Seperti tidak ada apa-apa. Seperti tidak pernah terjadi apapun kemarin dan beberapa hari lalu.
Kamu beberapa kali berpikir dan menyadari, baru saja kemarin kamu masih bertemu dengan Jon si mucikari culas dan kamu juga masih berdiri berjejer dengan delapan gadis lainnya. Namun, hari ini kamu kuliah. Kamu menjalani aktivitasmu seperti sediakala tanpa harus tinggal satu rumah dengan orangtuamu.
Kamu harus bersyukur.
Tadi pagi, Choi Mujin memberikanmu nomor handphone miliknya dan memintamu untuk menghubunginya jika kamu membutuhkannya. Oh, tentu saja, handphone yang dia berikan kepadamu juga baru. Yah, pria itu seperti memberikan hidup yang ‘baru’ untukmu. Hidup yang, dengan cara yang tidak bisa dideskripsikan, patut kamu syukuri.
Kamu keluar dari kelas yang baru saja selesai bersama temanmu. Ia berdiri di sebelahmu dan menunggumu yang sedang fokus dengan layar handphonemu, membalas pesan Mujin.
“Udah?” tanya temanmu, Prisa. Gadis muda seumuranmu itu tersenyum jahil melihatmu. “Hape baru, senyam-senyum lagi. Siapa tuh?”
“Ada deh,” jawabmu yang langsung menyimpan handphonemu di dalam tas.
“Lo punya pacar ya, (Name)? Finally??”
“Heh, bukan. Bukan pacar. Cuma temen aja. Udah ah, yuk ke kantin sebelum penuh,” kamu menjawab tanpa niat untuk melanjutkan topik itu lebih lanjut.
Karena kamu tidak memiliki ketertarikan untuk berlama-lama di luar, selesai makan kamu kembali mengikuti kelas, lalu kamu pulang kembali ke rumah Mujin di sore hari.
Kamu berada di dalam kamar, sendirian. Hanya ada televisi dan handphone yang menghiburmu. Kamu adalah anak tunggal yang tidak dekat dengan orangtuamu, jadi kesendirian itu bukanlah perasaan yang baru dan aneh. Tetapi kali ini kenapa rasa kesepian itu benar-benar menguasai dirimu? Apakah karena rumah Choi Mujin yang begitu besar dan kamu sendirian disini? Apakah karena kamu berharap Mujin dapat memberikanmu kenyamanan?
Menjelang malam hari, seorang pelayan datang membawakan sebuah bingkisan yang dibawa dalam tas belanja berwarna putih. Pas sekali, ketika kamu keluar kamar, wanita berusia 40-an itu baru mau mengetuk pintu kamarmu.
“Itu aja Non, titipan Bapak. Kalo udah nggak ada yang bisa saya bantu, saya pamit ya Non,” ujarnya sopan kepadamu.
“I-iya, Bu, makasih banyak yaa.”
Kotak? Besar? Apa itu? Mujin tidak menyampaikan apapun kepadamu, selain pesan terakhirnya di chat tadi. Kamu meletakkan barang itu di meja kamar kalian, dan membukanya. Sebuah laptop Macbook Air terbaru dan beberapa aksesoris pelengkapnya. Kamu masih melongo melihatnya. Selain ponsel terbaru, kamu juga mendapatkan laptop terbaru yang pastinya harganya sangat mahal. Kamu bengong menatap beberapa barang yang kamu dapatkan secara cuma-cuma itu di meja, lalu menghela nafasmu. Kurang apa hidupmu? Sekarang, kamu punya semuanya yang kamu inginkan. Kamu memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada Mujin.
Usai menerima pesan dari Mujin tadi, kamu mencoba mengutak-atik isi laptop baru mu, mem-back-up file-file dari cloud services yang kamu gunakan. Tidak terasa kamu begitu asik merapihkan segala file dan informasi di perangkat barumu, sampai tiba-tiba tengah malam menyambut. Jam 12 malam, dan Mujin juga belum tiba di rumah. Kamu mengantuk, matamu berair karena menguap beberapa kali. Kamu pun akhirnya memutuskan untuk tidur duluan.
Nampaknya, tidurmu semalam merupakan tidur berkualitas terbaik yang pertama kali kamu rasakan selama satu tahun terakhir ini. Kamu baru bangun pukul 9 pagi. Untungnya, tidak ada jadwal kuliah pagi di hari ini. Penyebab kamu terbangun pagi ini bukanlah karena alarm tubuhmu sendiri yang memerintahkan dirimu untuk bangun, tetapi…
“Good morning, (Name).”
Choi Mujin, in all his glory, telanjang sambil memeluk pinggangmu, menciumi tengkuk lehermu. Ciumannya lembut dan basah, kamu tidak memiliki pilihan selain mendesah, karena rasanya begitu menggelitik dan nikmat. Kumis dan janggutnya ikut menggesek kulitmu, menimbulkan sensasi lain yang menambah erotisnya suasana di pagi yang mendung ini.
“Anhh, bapak…,” lenguhmu. “Morning…”
Kamu memegang tangan Mujin yang menempel di pinggangmu dan mengusap area pubismu. Harapmu, Mujin tidak melakukan lebih dari ini. Tidak disaat kamu baru bangun begini. Jadi kamu menahannya disana. Jantungmu sudah berdebar kencang dan seluruh tubuhmu terasa ngilu, seperti kaget. Perasaan ini masih asing untukmu. Rasa ‘sange’ yang Mujin beritahu kemarin, mungkin inilah dia. Nafsu. Birahi. Kasarnya permukaan tangan Mujin yang menggerayangi pinggul dan perutmu membuatmu bergidik.
“Don’t stop me, (Name). Rasanya… enak kan?”
“Ngh — e-enak, tapi…,” suaramu melemah. Di titik ini kamu tidak yakin bisa memberikan jawaban yang memuaskan untuk Mujin.
“Sshhh, shhh, shhh.”
Mujin mencium daun telingamu sambil memasukkan tangannya ke dalam kaus yang kamu kenakan dan meremas dadamu yang tidak terbungkus bra. Payudaramu lembut, halus dan kenyal. Mujin mencubit puting susumu. Perawan yang cantik. Sayangnya, kulit mulus itu pertama kali disentuh oleh Jon, dan itu membuat Mujin geram.
Pagi hari rasanya lebih sensitif, dan tangan Mujin yang meremas keduanya tidak membantumu sedikitpun.
“Anghh…”
“Jangan dilawan, oke?” ujar Mujin diikuti anggukan kepalamu. “If it feels good, just enjoy it. Let your body learn what it likes. Take it easy, sweetheart.”
Mujin tersenyum. Bibirnya terus menjelajahi leher bagian belakangmu. Kamu menelan ludahmu, mengumpulkan nyawamu dan nyalimu menghadapi pria dewasa yang menyentuhmu dengan tidak senonoh ini. Tetapi tanpa disadari, yang dilakukan Mujin adalah mengajarimu untuk memahami bagian-bagian tubuhmu yang sensitif. Mujin mencium dan menjilat telingamu, lidahnya menari di ulir daun telingamu.
“Akh.. mmmhh, Pak…,” lehermu menggeliat. Baru pertama kali kamu sadar kalau daun telinga manusia itu sangat sensitif terhadap sentuhan.
“Kenapa pake baju, hm? Saya udah bilang, tidur harus telanjang,” ujar Mujin sambil mengelus-elus kedua puting susumu dengan jari-jarinya, memelintirnya menggunakan ibu jari dan jari telunjuknya.
“Habis… aku tidur sendirian, ngh-dan nggak tau bapak pulang jam berapa. Unghh… Kalo bapak nggak pulang, gimana?”
“Kamu nggak boleh bikin aturan sendiri. My house, my rules. Tidur nggak boleh pake baju. Paham?” Mujin berujar, suaranya tegas. Pria itu tetap bisa mempertahankan ketenangannya bahkan ketika bermain dengan tubuhmu sesukanya begini.
“Unhh-p-paham,” ujarmu lemas. “…Maaf.”
Kamu mengamati dengan cermat rasa yang ada di tubuhmu saat ini. Tidak biasanya bangun tidur kamu merasa lemas dan tidak berdaya begini. Sentuhan Mujin yang membuat tubuhmu bereaksi seperti ini. Air liur yang terus memproduksi berkumpul di rongga mulutmu. Kamu hampir tersedak. Lagi dan lagi. Kamu malu sekali, mendapati tubuhmu bereaksi secara sensual kepada sentuhan seorang laki-laki. Seharusnya, kamu bisa menahan dirimu. Namun entah kenapa, nikmat yang ia berikan kepadamu membuatmu sulit sekali untuk tidak merespon balik.
Mujin menangkup memekmu dengan telapak tangannya yang besar. Bersamaan dengan itu, Mujin menggesekkan kontol kerasnya di permukaan celanamu yang tipis. Sengaja, ia menggeseknya di belahan pantatmu.
“Ahh… Bapak, masih nnghh, masih pagi… Kok, begini…?”
“Mmhh, fuck,” desisnya. Kepala penisnya yang dipijat oleh belahan pantatmu terasa sangat enak. Mujin berniat mengabaikan pertanyaanmu, dan inginnya langsung saja merobek celanamu dan menunggangi tubuhmu detik itu juga. Tapi ia ingat seperti apa lembutnya dirimu. Dan bahwa kamu harus diperlakukan secara istimewa. Ia tidak mau membuatmu kaget dan kabur. “I want to show you how I appreciate you and your body. I want to treat you nicely, (Name). I want to make you feel good. Boleh kan sayang?”
Bagaimana kamu bisa menolaknya? Setelah apa yang ia berikan kepadamu. Kemudahan, kebebasan, akses, uang, barang, kenikmatan, semuanya. Mungkinkah kamu menolaknya? Tidak. Tidak logis dan tidak sopan. Kamu menelan ludahmu, kemudian kamu mengangguk.
“Mmmh, i-iyah.”
Jawabanmu singkat. Kamu tidak memberikan argumen apapun.
“(Name), kamu takut nggak?” tanya Mujin lembut, ia mencubit lembut dagumu. “Do you feel forced, hmm?”
Pria yang terpaut jauh usianya denganmu itu menarik tubuhmu, menjadikan tubuh kalian saling berhadapan. Wajah tampannya tepat di depanmu. Pria itu masih nampak segar, kulitnya bersih dan wangi. Dini hari setelah tiba di rumah, Mujin mandi. Rambutnya turun ke dahinya, bekas pomadenya luntur setelah keramas — pria yang manis, pikirmu. Mujin tidak tersenyum kepadamu, tapi kamu bisa mendengar hangatnya perhatian yang ia berikan kepadamu dari suaranya.
Kamu menggelengkan kepalamu sebagai respons, “No. I don’t. Aku takut, tapi aku nggak merasa dipaksa.”
“Good girl. I like that,” Mujin akhirnya tersenyum kepadamu. “Buka baju kamu.”
Kamu mengambil sedikit jarak dari Mujin untuk melepas bajumu, sampai kamu telanjang bulat. Mujin menjilat dan menggigit bibirnya, menontonmu melucuti pakaianmu sendiri. Payudaramu menggelayut ke samping ketika kamu kembali menghadapkan tubuhmu lagi ke arahnya.
“Beautiful,” tanpa pikir panjang, Mujin meremas kedua payudaramu yang sudah terpampang jelas di matanya sekarang, kemudian menunduk sedikit untuk menghisap putingmu sampai kamu mengerang. Saat dia menjilat puting susumu, kamu bisa melihat lidahnya menari-nari di ujung areolamu yang keras.
Mujin mengambil satu tanganmu dan meletakkannya lagi di batang penisnya yang sejak tadi semakin tegang saja. “See what you did to me?”
“Mmm…,” Bibirmu gemetar. Walaupun itu bukan pertama kalinya kamu menyentuh kelamin milik Mujin yang keras dan sudah siap menerjangmu, kamu tetap saja butuh waktu untuk membiasakan diri. Kamu menatap tangan kalian yang bersentuhan dibawah sana, jantungmu menderu kencang, nafasmu pendek. Mujin tersenyum kecil menyadari sikapmu sekali lagi.
“It’s okay. Kita bisa pelan-pelan. Atau kamu mau berhenti?” Mujin memiringkan kepalanya dan mulai menciumi bibirmu, dan jemarinya mengelus-elus puting susumu:
Memang kamu tidak menyadarinya, tapi Mujin sedang menerapkan reverse psychology kepadamu. Ia ingin melihat bagaimana kamu menyikapinya, terlebih ketika kamu sudah mulai terpancing nafsu begini.
“No,” kamu menjawab mantap, tidak sengaja desahan keluar dari mulutmu. “Lanjut aja, please.”
“Good decision. I’m proud of you, (Name),” Mujin menutup matanya dan mencium bibirmu lebih dalam lagi. “Fuck, I can’t wait to be inside you.”
Suara yang barusan keluar dari mulut Mujin seperti tidak kamu kenali, suara yang lebih berat dan serak. Seperti serigala kelaparan. Kamu menahan bibirmu untuk tidak merespon terlalu aktif, namun ciuman Mujin seolah memaksamu untuk menggerakkan rahang dan bibirmu untuk memperdalam lagi keintiman diantara dirinya dan kamu.
“Kocok, sayang,” ujar Mujin lembut, memintamu untuk menggerakkan tanganmu di kontolnya. “You will get used to do this with me, (Name). Now, you’re learning.”
Muncul pikiran seperti ‘Aku nggak mau ngecewain dia,’ dan ‘Aku nggak mau dia marah sama keputusanku’ di kepalamu. Bodoh. Itu kata yang sebenarnya tepat untuk mendeskripsikanmu. Namun, Mujin tetap akan melantunkan betapa pintarnya dirimu. Kamu berreaksi persis seperti harapannya.
Kamu mulai menggerakkan tanganmu naik dan turun di batang penis yang kekar itu. Urat-uratnya menyembul dan semakin lama, semakin tegang. Mujin mendesah, menikmati genggamam tanganmu yang lembut menyentuh ujung penisnya.
“Ahh... That feels so good,” erang Mujin.
Mujin terlihat begitu tampan di matamu. Wajahnya yang menyiratkan tingginya birahi di dalam dirinya itu membuat garis wajahnya menjadi keras dan seksi. Kamu pun hanya wanita biasa yang tertarik dengan pria tampan seperti Mujin. Melihat wajah semenarik ini di hadapanmu, mustahil untuk menahan nafsumu juga. Kamu menempelkan bibirmu di bibir Mujin, sambil terus menggerakkan tanganmu.
“Oh, my good girl,” ujar Mujin di sela ciuman kalian yang panas. “Submit to me, baby.”
“Ahh… Mujinn,” kamu merasakan cairan pre-cum dari lubang penis Mujin turun ke ibu jarimu. Basah, apa itu? Penasaran itu apa, kamu pun melongok ke bawah. Cairan itu cukup cair dan bening, tidak seperti cairan sperma yang kamu pernah liat di gambaran-gambaran di luar sana.
Mujin membuka kedua kakimu dan mencari titik sensitifmu, yaitu klitorismu. Dalam sekali pegang saja Mujin sudah bisa menemukannya. Semua sensasi ini memabukkanmu. Tak lupa kamu terus menggerakkan tanganmu di batang penis Mujin yang memerah karena aliran darah yang berpusat disana.
“Anngh! Mmmh, nngh,” desahanmu cukup melengking, tetapi Mujin menyukainya. Kamu seperti terkejut ketika Mujin memutar jarinya di klitorismu dan seketika rasanya menjadi sangat nikmat.
“Everything’s good?” tanya Mujin. Sekedar formalitas.
“Yes. Mm-hmm, annghh… uhh,” anggukmu, menggigit kedua bibirmu. Kepolosanmu sungguh nampak di mata Mujin, dan itu hanya menjadi bahan bakar saja untuk birahinya. Mujin bertambah sange melihat wajahmu yang memelas keenakan.
Kenapa rasanya enak banget? Malah, lebih enak dari sebelumnya?! Kamu tidak berhentinya bertanya akan hal ini di dalam hatimu.
“Mujin… Haa~! Ohhhnn, mmmm,” dagumu terangkat tinggi, hasratmu ikut memuncak ketika Mujin mempercepat gerakan tangannya. “Ngh! Enak… Ummmhh…”
“Enak banget ya?” bisiknya di telingamu. Mujin kembali menjilat daun telingamu dan menghisap daging kecil yang merupakan bagian bawah dari telinga itu.
“Ohhnghhh,” kamu mulai tidak tahan, seperti ada sesuatu yang mau meledak di dalam tubuhmu. “Mujin, ah, ahh, ahh, uhh, aku — mmmh, ada yang — akkh!”
“Cumming already, sayang?”
Cumming??
Kamu menatap Mujin dengan wajah yang bingung bercampur wajah keenakan. Sungguh, kecantikanmu naik berlipat ganda di mata Mujin, sekarang. Kamu menahan nafasmu, menghembuskannya kencang, lalu nafasmu tercekat lagi.
“You’re going to have your first orgasm, baby. Get a good grip. Pegang bahu saya, gigit juga boleh.”
Rasa itu muncul ke permukaan. Kamu merasa ada kembang api yang meledak di inti tubuhmu. Ledakannya sampai ke ubun-ubun. Ini gila, luar biasa, baru dan aneh. Kamu memegang bahu Mujin erat — kencang. Kamu berantakan. Kamu reflek membenamkan wajahmu ke ceruk leher Mujin, dan menggigitnya disana.
“HAAA~ Ohhh, hmmmhh, nnghh, ngghh, aaahh, uhhh, Mujinnnn…! Unnhhhhff —!”
“My fucking god, you’re perfect,” Mujin tersenyum bangga kepadamu. Ia menepuk-nepuk memekmu yang masih berkedut hebat setelah orgasme pertamamu itu. Menepuknya, entah kenapa, malah membuatmu mau lagi.
Mujin tahu kamu masih penasaran, sejauh apa kamu bisa merasakan kenikmatan itu lagi. Itu semua terlihat di wajahmu. Pria itu merangkak dan berhenti di depan kedua kakimu yang tertekuk, kemudian membuka lebar kedua kakimu lagi lebar-lebar dengan cara menekan paha dalammu.
“You want more, (Name)?”
Meskipun kamu yakin kamu mungkin akan merasa malu dan gugup lagi kedepannya, kamu tetap pada pendirianmu.
“Mm, mau,” anggukmu.
“Tahan kakinya dan nikmatin aja, okay?”
Wajah Mujin sekarang berada di depan kemaluanmu, dan itu sangat membuatmu malu. Mujin menciumi selangkanganmu. Tanganmu reflek menutupi belahan memekmu yang becek itu.
“Hmm? Buat apa ditutup?” Mujin terkekeh pelan kemudian lanjut menciumi jari-jari tanganmu yang menutupi memekmu itu. “Saya udah liat. Dan saya mau liat lagi.” Cup. Cup. “Mana memeknya, sayang?”
Kamu tidak sanggup jika Mujin menciumi tanganmu. Pria itu manis sekali, sampai-sampai kamu menyerah dan menunjukkan lagi kemaluanmu yang basah itu. Bibir Mujin yang terus menerus menggesek klitorismu benar-benar membuatmu gila.
“Ssskh. Nnggahh… Uhh, sayang. Ohh, kok… enak banget s-sihh…?”
“You like that, huh?” Mujin tersenyum mendengarmu memanggilnya begitu. Selagi mengamati ekspresimu yang merintih keenakan, Mujin menjulurkan lidahnya dan mulai menjilati memekmu yang masih dilumuri oleh cairan klimaks sebelumnya. Pria itu sudah menunggu-nunggu momen ini.
“Aakkhhh?! Ohh, yes, mmmpph — ” kamu menutup mulutmu sendiri, menghindari desahanmu yang kencang itu di dengar orang lain. Siapapun yang sedang bertugas menjaga rumah Mujin.
Melihatnya, Mujin berhenti sebentar untuk mengangkat tanganmu yang menutup mulutmu. “It’s okay. Biar orang denger,” jawab Mujin, lalu lidahnya kembali membelai, menjilati klitoris merahmu yang sensitif. Tidak hanya menjilat, Mujin juga menghisapnya dengan bibir yang mengerucut, sampai kamu menggeliat tidak karuan.
“Ahh, nngiyahh, shit! Uhh, enaakhh… ohhhngh~ uhhmm — P-Pak?” Alismu mengerut, menatap Mujin dengan wajah memohon. Kamu bak kewalahan merasakan stimulasi gila ini. “Nnghh, stop…”
“Hold. It. Down.”
Mujin meraih kedua pergelangan kakimu dan menahan posisimu dengan kedua tangannya agar tidak terlalu banyak bergerak. Ketika kedua kakimu mulai bergetar, Mujin tersenyum kecil dan mempercepat gerakan lidahnya.
Sluuurpprrph! Mujin menghisap seluruh cairan nafsumu yang terus keluar non-stop dari kemaluanmu. Bunyinya sampai berisik dan sangat erotis di telingamu.
“Haaaa… aaahh. Aaahh… aannngh! Choi — haaah! Ahh, aku enaakkh, lagiihh…”
“Oh, fuck,” geram pria itu.
Mujin tidak sanggup lagi menahannya. Ia berlutut dan mengocok kontolnya di depan wajahmu.
“Suck,” perintahnya singkat. Mujin tidak ingin berlama-lama, namun tidak ada salahnya jika ia ingin pemanasan menggunakan mulutmu.
Kamu sedikit gugup saat mengeratkan jari-jarimu di batang penis Mujin. Lalu, kamu buka mulutmu, kemudian kamu melahap kontol gemuk itu, masuk tanpa ragu ke dalam mulutmu. Lehermu banyak bergerak menopang kepalamu yang maju mundur. Suara kerongkonganmu yang terus menerus disenggol oleh kepala penis Mujin begitu cabul terdengar. Kamu tidak tahu kalau kamu sanggup melakukan ini. Mungkin untuk kedua kalinya, rasanya tidak semenakutkan itu.
“Laper sayang? Suka ya, sarapan pake kontol?”
Glek… Glok, glok, slub, glok…
Kamu tidak bisa berbicara, namun kepatuhanmu dan kesediaanmu untuk terus menelan dan sesekali mengocok kontol milik pria itu sudah bisa memberikan jawaban. Mujin puas akan apa yang ia ciptakan ini. Kepatuhanmu akan dirinya perlahan mulai terbentuk.
Setelah Mujin puas merasakan hangatnya mulutmu yang terkatup rapat di sekeliling batang kontolnya, Mujin menjambakmu dan mencium bibirmu.
“(Name), saya mau masukin. Rasanya bakal sakit, tapi kamu pasti bisa tahan. Tahan ya, sayang? Untuk saya?”
“Hmmh? Bapak… Aku, ga akan kenapa-kenapa kan?”
Jantungmu mulai berdegup kencang lagi, seperti di awal. Sakit? Akan sesakit apa rasanya? Mujin menghela nafasnya, kemudian ia mengecup bibirmu lembut dan berkata lembut layaknya menenangkanmu.
“Mujin. Panggil Mujin aja. Oke?” Mujin membelai pipimu, sampai kamu menjawab ‘iya’. “Good. Sekarang, aku mau kamu merasa nyaman, dan nggak ada perbedaan yang berarti antara aku dan kamu. We are on the same level. And I want you. I want to be with you, (Name),” Mujin memegang lehermu, ibu jarinya mengelus rahangmu lalu dengan lembut ia kecup pipimu. “Dan kamu akan baik-baik aja. I will guide you, and I will hold you tight while we make love.”
Gusar. Kamu mempertimbangkan selama beberapa detik. Kamu takut akan rasa sakitnya. Apalagi melihat ukuran Mujin yang di atas rata-rata. Logika orang bodoh saja tahu pasti rasanya akan sakit jika penis itu merobek selaput daramu. Tetapi, lagi-lagi, kamu tidak sanggup menolak Mujin.
“Mmm. Okay,” Kamu mengangguk menyanggupi. “T-tapi… janji pelan-pelan ya?”
“No need to tell me twice,” Mujin mencium ubun-ubunmu, lalu dia merebahkan tubuhmu di atas kasur.
Kakimu dipegangnya, betismu diangkatnya. Kamu menyangga kedua pahamu yang terkangkang lebar, tanganmu melilit di bawahnya. Mujin memposisikan dirinya di antara kedua kakimu, ia memegang kontolnya, mengarahkannya ke lubang kenikmatanmu. Sekejap ia menatapmu, dan kamu menggigit bibirmu, memberi lampu hijau dengan sebuah anggukan.
“Ahhh,” desah Mujin ketika separuh kejantanannya sudah masuk ke dalam lubang perawanmu yang sangat amat sempit.
“Mmmmmppff! Aakkh! Perih, nngh,” kamu memejamkan matamu kencang. Sakit rasanya. Hymenmu meneteskan sebutir darah. Kamu mengatur nafasmu, lubang memekmu meregang habis-habisan. “Mujin~ ah, sakit…”
“Sakit? Okay… relax. Aku pelan.”
“Hmm-mm.”
Wajahmu memerah seperti buah persik. Kulitmu hangat menahan rasa sakit itu, selaput daramu dirobek pria yang baru kamu kenal. Mujin mencoba masuk lebih dalam lagi. Walaupun pelan dan kondisimu sudah cukup basah, bahkan sangat basah, rasanya sama saja. Sakit, perih. Tetapi tidak ada yang bisa kamu perbuat selain menerimanya.
“Gugup ya?” Mujin pelan-pelan menggoyangkan pinggulnya maju mundur. Ia menatapmu serius.
“I-iya. Aku — nngahh, takut sakit,” kamu meringis, menggigit bibirmu.
“Nggak akan sesakit itu kalo kamu santai, sayang,” Mujin menggagahi tubuhmu dengan posisi paling dasar, missionary. Ia menyangga tubuhnya dengan kedua sikutnya yang ia letakkan di sisi kiri dan kanan kepalamu. Mujin menciumi lehermu, lidahnya turut berpartisipasi untuk membuatmu lebih santai dan menikmati momen intim perdana ini. “Loosen up for me, baby.”
Kamu mengatur nafasmu, sebisa mungkin melemaskan otot-ototmu yang menegang karena gugup. Sekarang, paras tampan Mujin tersaji di atasmu. Bibirnya terbuka, mengeluarkan desahan-desahan yang terdengar dalam bentuk nafas yang berat. “Ahh… ahh…. mmmhh, fuck.”
“Cium aku,” pintamu malu-malu. Ini kali pertama kamu meminta sesuatu dari Mujin. Mujin yang terlalu fokus menikmati memekmu yang sempit, rasanya begitu nikmat, sehingga membuatnya tidak bisa berhenti mengerang keenakan.
Mujin tersenyum, kemudian ia menundukkan kepalanya untuk memberikanmu ciuman yang lembut di bibirmu. Matamu terpejam menghayati ciuman yang membantu otot-otot tubuhmu lebih lemas. Bibir Mujin begitu antusias melahap bibirmu, bahkan ia terkesan melahap seluruh wajahmu. Otot-otot lengannya mengencang karena tubuhnya yang terus bergerak di atasmu, menyetubuhimu. Sakit yang kamu rasakan silih berganti dengan kenikmatan yang nyata. Mujin mengetahuinya dari rintihan yang digantikan dengan desahan lembut.
“Ahh, ahh, mmmhh, uhhss, ahh, enak… ounghh… Nnghh, Mujinhhh…”
“Sakitnya udah hilang?” tanya Mujin. Ujung hidungnya menggesek daun telingamu. “Hmmm?”
“He-emhh, uhh, enak… Mmmhh, sekarang… angh — enak.”
“That’s my girl. Fuck… your pussy feels so good around my cock,” Mujin meletakkan dahinya di bahumu sambil mengekspresikan kenikmatan yang ia rasakan lewat desahan.
Jarang, ia bisa mendapatkan perawan yang begitu bersedia menyerahkan dirinya yang polos sepertimu. Mujin menyukai beberapa kriteria wanita. Salah satunya adalah wanita sepertimu. Wanita yang siap menerima perintah apapun dari dirinya, wanita yang cantik dan penurut.
“Aku cepetin ya,” ujar Mujin.
“Ohh, ngggahh, mmphh, iiyahh…”
Sial… Seenak ini? Begini yang orang rasain waktu berhubungan seks? Di sela-sela meremangnya tubuhmu karena Mujin memanfaatkannya, kamu sempat berpikir itu. Rasanya, membuatmu takjub.
Mulutmu membulat mengeluarkan nafas yang terengah-engah karena gerakan pinggul Mujin yang cepat.
Mujin menyingkirkan helai rambut yang menutupi wajahmu rambutmu sambil menatap matamu, “Pipi kamu merah, sayang. Kamu makin cantik kalo lagi dientot gini. Ngh-ohhh, fuck, memek kamu enak banget. Ahhh…”
Kamu berpegangan pada bahu Mujin, matamu bahkan tertutup karena begitu menikmati rasa baru yang sangat nikmat ini. Kontol milik pria yang ‘memilikimu’ yang besar dan memenuhi lubang memekmu, terus-terusan menghujam titik kepuasanmu. Desahan yang keluar dari mulutmu, meskipun lembut, namun tidak pernah berhenti. Masih ada rasa malu yang membuatmu belum menunjukkan bagaimana kamu sebenarnya ingin menjerit. Mujin tak henti-hentinya menggoyangkan pinggulnya menghantam lubangmu yang sensitif.
“Akkhh, Mu-nghh-Mujinn.. Aku mau… Ahh, uhh, enak lagihh….,” otot pinggul dan kakimu serasa kejang, gemetar hebat.
“Yes. Keluarin, sayang. Come on. I love watching you cum.”
Beberapa kali Mujin menyodokmu kuat-kuat dan semakin membuatmu memekmu berkedut. Kamu menahan nafasmu ketika klimaks itu muncul lagi. Tanganmu meremas-remas bahu Mujin sebagai bentuk pelampiasan klimaksmu yang brutal. Percikan air keluar dari lubang pipismu akibat Mujin yang terus menyenggol g-spot mu dengan kepala kontolnya.
“Huuu — aahhh, mmmmpphhfft, mmmmh! Ohh, huhh~,” desahanmu lebih mirip seperti tangisan. Kamu menutup wajahmu. Malu, kamu sangat amat malu dan merasa kotor karena kamu baru saja ‘pipis’, itu yang kamu pahami.
“Fuck. Ohh, fuck. Yes. Ohhh, baby,” Mujin mendesah-desah. Memek sempitmu yang berkedut, hampir membuatnya lupa diri. Pinggul pria itu tidak bergerak, penisnya tetap tertancap di dalammu. Ia ingin merasakan bagaimana luar biasa nikmat rasanya ketika otot-otot dalam vaginamu meremas-remas batangnya.
Kamu mengambil bantal, menyembunyikan wajahmu dari tatap mata Mujin yang masih haus akan dirimu. Mendengarmu suaramu yang lirih bak tangisan, Mujin menarik bantal dari wajahmu dan nampak disitu wajahmu yang merah. Kamu merasa telah mempermalukan dirimu sendiri, dan mungkin Mujin juga. Kenapa kamu harus pipis pada kasur pria itu? Padahal kalian sedang bercinta.
“Sssh, sssh, shhh,” Mujin menyingkirkan tanganmu yang menutupi wajah cantikmu yang berrona merah muda. Kamu nampak sangat cantik di mata Mujin. “Baby. You crying?”
“A-aku, maaf,” kamu menelan ludahmu. “Aku m-malu. Maaf…”
“Malu? Kenapa?” Mujin tersenyum. Sedikitnya, Mujin paham kenapa. “Karena tadi kamu pipis?”
Kamu menutup wajahmu lagi, malu untuk mengakuinya. Namun, kamu memberikan konfirmasi bahwa dugaan Mujin benar lewat sebuah anggukan.
“Sayang. It’s okay,” Mujin merunduk ke bawah, mendekati wajahnya ke wajahmu dan memberikan kecupan manis di hidungmu. “It’s called squirting. And it’s one of the forms of sexual climax. It’s technically not urine. Mungkin mirip, tapi itu bukan air kencing. It’s just… well, squirt,” Mujin menjawabnya dengan sabar dan senyum yang hangat. “It’s totally normal. Gak usah malu. Come here.”
Mujin berguling ke sisi di sebelahmu dan secara implisit memintamu untuk duduk di atasnya. Kontol tegangnya masih tertancap di dalam memekmu yang basah, hanya saja posisinya sekarang kamu menunggangi pinggangnya.
“(Name), kamu sama sekali gak perlu ngerasa malu. It’s your body and I want you to explore it. Waktu kamu bilang kamu ngerasa ‘enak’, itu namanya orgasme, atau klimaks. Kamu akan ngerasain klimaks kalo aku mainin g-spot kamu, di dalem sini,” Mujin menyentuh tulang kemaluanmu. “It’s somewhere in there. Paham?”
“Hmmm,” responmu.
“Good… Very good.”
Mujin meremas pantatmu yang beristirahat di pinggangnya. Paginya sempurna, melihatmu bugil di pangkuannya dan duduk menungganginya. Jujur saja Mujin tidak ingat kapan terakhir dia memiliki mainan sepertimu, gadis yang ia bisa pakai kapan pun ia mau. Namun, kamu ini pengecualian. Kamu perawan. Perawan yang bersedia dicap menjadi hak miliknya. Tidak ada paksaan untuk menetap bersamanya di bawah satu atap, seperti sekarang ini. Hanya butuh beberapa penawaran menggunakan momentum yang pas saja, yaitu situasi dan kondisimu. Uang yang ia keluarkan untukmu itu benar-benar tidak ada artinya untuknya. Tapi, ia berhasil mendapatkanmu. Sebuah harta karun. Kenapa Mujin sangat puas mendapatkanmu? Karena Mujin bisa membentukmu menjadi gadis yang selalu diimpi-impikannya. Kamu polos, pengetahuanmu tentang seks nol besar. Bahkan melihatmu menangis karena orgasme yang kamu tidak tahu itu membuat birahinya semakin menggunung. Kontolnya semakin keras.
God, you’re so fucking dumb. Mujin berucap dalam hatinya, saat tangannya berlari bebas meremas-remas tiap lekuk tubuhmu yang sintal. I will fuck you up real bad. Setelah ini, kamu bahkan nggak akan kuat hidup satu hari tanpa saya.
“Sekarang, coba gerakin badanmu,” Mujin menjilat bibirnya. “Use my cock to make yourself feel good.”
Kamu menggigit bibirmu, melirik gambar ular di dada Mujin. Tattoo yang ada di dadanya itu sangat seksi. Dada pria itu hampir menjadi alasan kamu sedikit melupakan rasa malumu, dan mencoba sesuatu yang baru lagi. Kamu membawa pinggulmu naik dan turun, menjepit kontol Mujin dengan memekmu yang sempit. “Nnghh… Sssh, haah~”
Oh my… Gila, kok… enak banget rasanya? Kalau diperbolehkan, kamu ingin menampar wajahmu sendiri karena memiliki pikiran mesum saat ini. Pantesan banyak orang yang ketagihan seks.
“Mmmhh, iiyaahh… Uhh, mmmh, oh god.”
“Ohh. Terus, sayang.”
Mujin mengusap-usap bokongmu yang menggenjot tubuhnya. Gerakanmu sensual. Mungkin kamu terlihat cukup natural, seperti bukan perawan, padahal faktanya kamu hanya begitu menikmatinya. Matamu merem melek saat kontol gemuk itu keluar masuk memekmu. Bunyi becek yang cabul yang keluar saat Mujin membuat sari-sari tubuhmu keluar dari lubang memekmu itu tak kalah lantangnya dari desahanmu.
“Ahh, Mujin… mmmhh, hahh~ Ohh, yes…”
“Nghhh, pinter. Nikmatin sesuka kamu, sayang.”
Mujin menyingkirkan rambutmu yang menutupi payudaramu. Ia senang melihat dadamu bergoyang-goyang seirama dengan gerakan tubuhmu. Oh, matanya sangat amat dimanjakan pagi ini.
Plak! “Come on, baby…,” Plak! “Ride me harder.”
“Oohhhnghh… Sayaangg…”
Mujin tersenyum penuh kepuasan melihat alismu berkerut, hidungmu kembang kempis, bibirmu yang bengkak karena kamu sering menggigitnya, dan rambutmu yang berantakan. Mulutmu terasa kering karena seringnya terbuka mengeluarkan desahan yang mungkin tidak sadar kamu lenguhkan. Mujin mengangkat punggungnya untuk mencium bibirmu. Diluar niat sialannya untuk memanipulasi jalan pikiranmu, secara fisik ia memang menyukaimu. Gadis cantik, muda bertubuh padat dan molek. Ditambah kamu juga telah menyerahkan keperawananmu kepadanya. Mujin ingin kamu merasa dihargai dan dicintai. Ia menciummu lembut saat tangan nakalnya membantumu menggerakkan pinggulmu.
“Gesek itilnya, sayang,” Mujin menggoyangkan pinggulmu dengan arah memutar. “Trust me, you’ll feel so fucking good.”
“Nnnghh… Giniihh?”
“Mm-hmm,” angguk Mujin. “Yes. Goyangin pinggulnya, puter sampe itil kamu kegesek-gesek. Ohh dammit. Fuck yes.”
Mata Mujin berputar, keenakan. Kontol miliknya terhimpit sesak di dalam memek kencangmu. Kamu menggerakkan pinggulmu seperti yang ia ajarkan, dan karena tatapan nakalnya pun, kamu menjadi semakin becek dan semangat menggesekkan klitorismu di area pubisnya.
“Hahhh… Ohhh… Hnnngh?!”
Mujin bernafas dengan berat. Wajahmu mulai berubah seperti sedang teler. Matamu berkedip cepat, kamu akan meledak lagi dengan rasa yang sangat nikmat. Mujin yang merasakan pijatan dari dinding memekmu pun juga sudah dekat.
“Hngh, fuck. Aku keluar. Ohhh! Shit. Ahhh,” Mujin tidak sempat mencabut kontolnya. Pria itu akhirnya memuncratkan spermanya di dalam rahimmu.
“Aku — aaannhgh! Ohh, rembes lagi. Aku keluar lagi. Aaah, ssshh, ahhh, uhhh, enakkk…”
Kepala kontolnya yang membengkak di dalam memekmu otomatis membuat titik manismu tersodok-sodok secara brutal. Mudah sekali bagimu untuk mencapai klimaks ketigamu. Dan yang ketiga ini klimaksmu dan Mujin terjadi berbarengan.
Senyum Mujin kian melebar melihatmu menggeliat di atas pinggulnya, saking kerasnya klimaksmu, kamu sampai ambruk ke dadanya. Tubuhmu seluruhnya bergetar, terlebih kedua kakimu yang nampak seperti kejang.
“Oh, fuck, ohhh. Liat kaca, sayang,” Mujin membuatmu menengok ke kaca yang berada di depan kasur. Sedari tadi juga Mujin menikmati goyangan tubuhmu lewat refleksi di kaca itu. “Your pussy leaked on my fucking cock.”
Hal itu malah membuatmu malu. Kamu tersipu dan menyembunyikan wajahmu di bawah leher Mujin.
“Haha. That’s cute,” Mujin membelai rambutmu. Bibirnya menempel sejenak di pipimu, memberikanmu kenyamanan. “Kamu suka, sayang?”
“Mmm,” kamu ragu untuk berkata jujur karena kamu mau mengakui bahwa kamu suka. Bahkan, kamu menantikan saat kamu bisa melakukan hal seperti tadi lagi bersama Mujin, nanti. “Suka.”
“We will do it again. Nanti malem, lagi ya?”
Kamu menggigit ibu jarimu. Kepalamu yang bersandar di dada Mujin dan seluruh tubuhmu itu pun masih meremang berposisikan di atas tubuh Mujin yang kuat. Namun Mujin sudah membayangkan malam hari nanti, dimana ia akan memakai badanmu lagi demi nafsu bejatnya. Kamu tidak bisa menolong pikiranmu sendiri. Rasanya seenak itu, kakimu seperti tidak menginjak bumi. Apa mungkin kamu sanggup menolaknya?
“Mmm… iya. Mau.”
Mujin menggamit lehermu dan membuat bibir kalian bersatu lagi. Kamu senang, jika Mujin senang. Kamu akan melakukan apapun yang ia minta, dan kemungkinan kecil sekali kamu akan menolaknya. Jika seks yang akan mempererat hubunganmu dengan Mujin, biarlah, itu bukan masalah lagi bagimu.
“I saved you, and I took your virginity, so you’re mine, (Name).”
2 minggu kemudian…
Kamu mencoret-coret buku catatanmu sambil mendengarkan ceramah dosenmu. Kamu ingin fokus kuliah, namun pikiranmu kemana-mana. Seharian kemarin kamu tidak bertemu Choi Mujin, karena ia sedang berada di luar kota. Tidak separah jika ia berada di luar negeri. Maksudnya, dia bisa pulang dalam waktu cepat. Jadi, masih ada yang patut kamu syukuri. Tulisanmu lama kelamaan menjadi berantakan. Kamu sangat merindukan Mujin dan kamu belum mendapatkan kabar darinya sejak semalaman ini.
Jam makan siang, kelasmu selesai. Kamu keluar dari ruangan itu. Jantungmu seperti lompat dari rusukmu ketika kamu membaca nama Mujin muncul di layar handphonemu, meneleponmu.
“Hei,” sapa Mujin santai namun tetap terdengar dingin saat kamu mengangkat teleponnya. Choi Mujin tidak mahir dalam berromansa seperti pasangan di novel percintaan. Ia hanya mahir dalam merayu, dan kamu target yang ia suka.
“Apa?” jawabmu tidak kalah dinginnya.
“Kenapa? Marah?”
“Emggak.”
Mujin tersenyum usil mendengar penekanan dramatis di jawabanmu. Suaramu jelas menunjukkan kamu yang sedang ngambek dan tidak mau mengakuinya.
“Aku pulang. Ini udah di jalan. Mau dijemput sayang?”
“Kelasku selesai jam 2.30,” jawabmu malas. Tapi sebenarnya kamu juga senang sekali pulang dijemput olehnya.
“Ga masalah. Aku tunggu di mobil. Aku sampe kampus kamu jam 2, kira-kira.”
“Oke.”
Pura-pura marah, tapi susah. Wajahmu bersemu membayangkan Mujin menunggumu di dalam mobil, dengan wajah tampannya dan aroma tubuhnya yang selalu menempel di tubuhmu selama dua minggu terakhir ini. Kamu bahagia tinggal seatap dengan Mujin, meskipun status hubunganmu dengannya tidak jelas, apakah sebatas hubungan dibawah perjanjian verbal, atau kalian memang berniat untuk berpacaran. Yang jelas, kamu dan Mujin sama-sama nyaman memanggil dengan sebutan ‘sayang’ kepada satu sama lain. Kamu tidak terlalu memusingkan. Belum, setidaknya.
“OK kalo gitu. Nanti aku kabarin lagi kalo udah sampe. See you later sayang.”
Ah! Itu dia pesonanya yang tidak bisa kamu tolak.
“Hmm, oke. Bye.”
Choi Mujin tiba di kampusmu. Kamu tidak ingin orang lain tahu bahwa kamu sudah berpisah dengan orangtuamu sendiri untuk tinggal bersama pria paruh baya yang memiliki pekerjaan yang mengerikan. Siapa yang membanggakan itu? Pasti tidak ada kan? Maka dari itu, kamu tidak ingin memamerkan hubunganmu dengan Mujin kepada dunia.
Kamu masuk ke dalam mobil, dan cukup terkejut ternyata Mujin menyetir sendirian. Tidak disupiri seperti biasanya.
“Hai. Nunggu lama? Maaf ya.”
Mujin menunda jawabannya setelah mencium bibirmu dan menggenggam tanganmu erat. Kamu merindukan bibir itu. Setiap hari bertemu dengan Mujin, bentuk keterikatan itu tumbuh semakin erat setiap harinya.
“Agak lama, tapi nggak papa. Udah keinginanku.”
“Kamu gak sama Taeju?”
“Dia gantiin aku buat meeting siang ini. Aku capek, aku mau ketemu kamu. Jadi biar dia gantiin aku. Kita ke hotel di deket sini aja, ya?”
Kamu tertawa pelan mendengar Mujin yang sama sekali tidak suka berbasa-basi. Langsung saja pada inti tujuan kenapa ia rela menjemput dan menunggumu selama 30 menit.
“Boleh.”
“Okay.”
Di hotel bintang lima yang mewah itu, Mujin menyewa kamar yang luas dan bahkan memiliki ruang tamu sendiri. Mujin tidak punya alasan khusus, ia cuma sudah terbiasa menyewa suite jika sedang berada di hotel. Setelah ia menutup pintu dan kamu sudah masuk ke dalam, Mujin mencium bibirmu. Pria itu sedikit terheran kenapa tidak merespon seperti biasanya.
“What’s wrong, hmm?”
“Gak papa.”
“(Name), yang jujur sayang. It’s okay to say the truth to me, you know, about how you feel,” Mujin mengangkat dagumu dengan telunjuknya, kemudian ia kecup bibirmu.
“Kamu nggak ngasih aku kabar dari semalem sampe tadi siang. Aku nggak suka khawatir sendirian. What if something happens to you? Gara-gara itu, aku jadi nggak bisa mikirin yang lain.”
Dia mau kamu jujur, maka akhirnya kamu berterus terang. Wajahmu tegas dan serius saat mengatakannya, sementara Mujin menatapmu dengan mata sayunya, dan otak yang sudah berpikir ke adegan ranjang.
“Maaf... Semalam aku sibuk banget, aku nggak sempat pegang handphone. Waktu aku pulang untuk istirahat, handphone-ku mati karena kehabisan baterai. Paginya aku sibuk selesaiin urusan supaya bisa pulang cepet di jam tadi, because I can’t stand to be so far away from you too.”
“You could’ve text me one or two words. That would be nice, you know?”
Fucking hell, that’s hot. I’m the only thing in her head. Ujar Mujin di dalam hatinya, bangga karena dirinya sudah berhasil menjadi pusat perhatianmu.
“Sorry. I’m a jerk, I know. Maaf ya?”
“Hmm…,” gumammu, menggesekkan ujung hidungmu dengan ujung hidungnya. “Tapi kali ini aja.”
Mujin menarik lehermu tiba-tiba sehingga kamu tidak memiliki kesempatan untuk menolak ciumannya.
“I wouldn’t do that if I know that you…,” Mujin mencium bibirmu. “are that possessive of me,” kata-kata Mujin secara instan membuat wajahmu bersemu.
“Hmm…,” kamu menggigiti bibirmu, berpikir bahwa kata-kata Mujin memang mencerminkan kelakuanmu. “Fine. You might… be right.”
“No, I am right.”
“Oke. Kamu menang,” kamu memutar matamu, akhirnya mengakui kemenangannya.
“Mmmmh….”
Dua pasang mata tertutup ketika bibir kalian bertemu dalam sebuah ciuman yang diselimuti kerinduan. Jemari besar milik Mujin masuk ke sela-sela rambutmu, meremas bagian belakang kepalamu, memperdalam ciumanmu.
“Akhh…,” desahmu. Mujin mengangkat ujung bajumu dan meremas payudaramu.
Setiap sentuhan Mujin merasuk di tubuhmu, mengkoyak pertahananmu dan merusak citramu yang selama ini polos dan lugu. Sesaat setelah ia menjebol keperawananmu, kamu menjadi gadis yang selalu merasa butuh. Butuh keberadaan Mujin di sisimu, butuh sentuhan Mujin secara konstan. Berubah menjadi apa dirimu ini? Apakah Mujin memberimu ramuan sehingga dirimu menjadi tamak seperti ini?
“I miss you…,” bisikmu.
“Incorrect. I miss you first.”
Senyummu tak terkontrol lagi. Mujin memeluk dan menarikmu sampai kalian terbaring di kasur mewah nan luas itu. Inilah pemandangan yang Mujin sukai: kamu di atasnya. Kamu menciumi wajah Mujin sementara tangan besarnya yang dihiasi kapalan-kapalan di beberapa pangkalnya membelai kulit pahamu yang terekspos.
“Bohong. Kalo kamu kangen, pasti kamu hubungin aku,” tukasmu. Plak! Mujin memukul pantatmu. “Annghh!”
“Aku buru-buru pulang supaya cepet ketemu kamu,” timpal Mujin. Ia berbisik di telingamu, sengaja memancingmu. “…aku nggak tahan mau ngentotin kamu sampe kamu ngejerit.”
“Nnghh~,” mendengarnya membuat memekmu berkedut. Itu juga yang kamu rindukan darinya.
Mujin tidak membuang waktu lama-lama untuk segera membuka bajumu dan menyusu pada payudaramu yang montok. Rok pendekmu ia sisakan karena kamu terlihat seperti gadis sekolahan yang manis saat memakainya. Imajinasinya akan tubuh molekmu yang terbalut rok pendek memantul-mantul akibat sodokannya saja sudah cukup membuat kontolnya tegang.
“Aahh, uhh… Mmhh, yes,” kamu mendesah keenakan saat mulut Mujin menguncup untuk menghisap-hisap puting susumu yang keras. Sambil melakukannya, Mujin menurunkan celananya sampai cukup untuk penisnya mencuat dari boxernya.
Kamu terima saja saat Mujin menggesek-gesekkan kontolnya ke klitorismu. Mujin tidak mau menundanya hanya untuk foreplay yang jelas tidak dibutuhkannya lagi. Ia ingin segera menjebolmu. Mujin menggeser celana dalammu dan…
“Mine…”
“Anghh, sayang!” pekikmu terkejut, ketika kontol Mujin masuk seluruhnya sampai ke pangkalnya ke dalam memekmu.
Mujin meletakkan tangannya di pinggulmu dan membantumu bergerak. Pak, pak, pak, pak, suara kulitmu dan Mujin itu terdengar lantang dan seksi.
“Kangen aku ya? Becek banget,” goda Mujin, tersenyum angkuh kepadamu.
“Uunhh, iyaahh. Nghh! Ahh, enak…”
“Fuck, it feels so fucking good. It’s like your holes are made just for me, baby.”
Mata Mujin terpejam, makin dalam dirinya menggalimu di dalam sana. Penisnya tercetak di perut bawahmu, setiap kali ia masuk. Mendobrak-dobrak membuat sebuah gundukan di perut bawahmu. Ia menekan gundukan dengan telapak tangannya. Ternyata, itu membuatmu merasakan kenikmatan yang luar biasa. Entah berapa pengalaman yang Mujin punya, sampai ia tahu segala macam teknik untuk memuaskanmu.
“Hahh! Onnghh, sayang, iyaahh, disitu, enakk…”
“Disini sayang?” Mujin menyodokmu dengan sangat kencang.
“Ha — Ohhh!! Iyyahh. Terus sayang, dikit lagi.. aku udahh, aahh, dekeet…”
“Ohh, fuck. Cum for me, baby.”
Beberapa hentakan yang Mujin berikan membuatmu banjir. Cairan deras keluar dari lubangmu, suara desahanmu seperti gadis binal yang hobi seks. Nafsu untuk Mujin. Patuh hanya kepada Mujin.
Mujin sedikit menggeser bokongnya untuk berpindah dari kasur yang basah. Senyum cabul menghiasi wajahnya, ia berniat membuatmu bocor lagi dan membasahi spot lain di kasur tersebut. Dan benar saja, siang hari sampai sore hari itu, kegiatanmu dengannya hanya seputar seks dan seks, dan tidak ada hal lain selain seks untuk memuaskan nafsu Mujin yang tiada beda dengan binatang yang lapar.
Sore hari, langit mulai berangsur gelap. Mujin mengajakmu berendam di bath tub yang diisi air hangat dan sabun yang beraroma bunga yang segar. Kamu terduduk di pangkuan Mujin. Hangatnya pelukan pria itu menghanyutkanmu. Kamu menyandarkan kepalamu di dadanya, layaknya menyandarkan harapanmu di dirinya.
“Hari ini, ada hal yang harus kamu pahami,” Mujin berucap lembut sambil menyabuni kedua bahumu. “Belajar. Kalo kangen, ngomong. Kalo butuh aku, ngomong. Butuh uang, ngomong. Apapun itu. It’s not embarrassing. You have to be selfish with me, okay? Apapun yang aku lakuin, sekarang semuanya untuk kamu. You know I’m here for you,” Walaupun kata-katanya manis, kamu tahu Mujin sedang mengomelimu.
Kamu tersenyum kecil. Nyaman rasanya ketika Mujin menyentuhmu dengan lembut sambil menceramahimu tentang kesalahanmu.
“Hmm, okay. Aku akan coba. Maaf kalo banyak hal dari aku yang belum sesuai keinginan kamu.”
Mujin mencium rambutmu yang basah, dari belakang.
“You’ll only learn to be a better partner for me, (Name),”Ujarnya lembut. “Selesai mandi, kita pulang ke rumah.”
“Oke.”
Di tengah kesibukan Mujin di kantornya, handphone pria itu bergetar dua kali. Ia mengintip notifikasi yang muncul. Jika itu darimu, ia akan membalasnya sesegera mungkin. Tetapi, ini bukan darimu. Ini dari Taeju. Biasanya, Mujin akan mencuekinya sampai kesibukannya berakhir. Toh, jika urgent, Taeju akan menghubunginya lewat telepon. Namun, entah kenapa, sekarang Mujin merasa terpancing untuk membuka pesan dari anak buah kepercayaannya itu. Mujin akhirnya membuka pesan itu dan membacanya.
Mujin membaca ulang pesan dari Taeju. Ia tahu hari ini pasti akan tiba, dan mau tidak mau, ia harus menghadapinya.
[END]